watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

DEMI SAHABAT

Pada suatu pagi aku menerima sepucuk surat.
Ternyata surat itu dari sahabatku Nasem yang
tinggal di Manado. Isinya dia mengundangku
datang ke sana untuk berkangen-kangenan.
Maklum telah puluhan tahun kami terpisah jauh.
Nasem di Minahasa, Sulawesi Utara dan aku
tetap di Malang, Jawa Timur.
Dalam suratnya, Nasem menceritakan pula
tentang keadaan Hamid (samaran, sahabat kami
pula) di Tewah. Katanya, ia juga kangen padaku.
Yah, sesungguhnya aku pun juga kangen pada
mereka. Kami adalah tiga sahabat karib, yang
dulu tak terpisahkan. Lahir di kampung yang
sama, tahun yang sama pula. Tak heran orang
kampung menjuluki "Three Brothers". Cuma
bedanya, Nasem dan Hamid sukses di kariernya.
Kini Nasem menjadi Kepala Cabang Dealer Mobil/
Motor di Minahasa dan Hamid menjadi pedagang
antar pulau dan tinggal di Tewah. Sedang aku
tidak. Tak banyak yang bisa dilakukan anak
petani macam aku ini.
Sayangnya, setelah 10 tahun menikahi gadis
Minahasa, Nasem belum juga dikaruniai anak.
Beda denganku yang harus pontang-panting
menghidupi isteri dan keempat anakku. Kalau
saja Nasem tidak membantu, mungkin aku
sudah tidak sanggup. Itulah yang membuatku
terharu. Meski sudah makmur dan terpisah oleh
lautan, mereka masih memperhatikanku.
Kembali ke surat Nasem. Ada satu hal penting
yang disampaikannya, yaitu minta bantuanku.
Tanpa menjelaskan apa yang dimaksudkannya.
Aku pun bingung, apa yang bisa kuperbuat
untuk membantu orang sekaya Nasem?
Dengan uang yang dikirimkannya, aku pun
berangkat memenuhi undangannya. Istriku
harus tinggal, untuk menjaga rumah dan anak-
anak yang harus sekolah. Kepadanya aku pamit
untuk waktu barang satu dua minggu.
Lalu, setelah 5 hari 5 malam berlayar, aku pun
sampai di tujuan. Di situ aku sudah dijemput
oleh Nasem dan istrinya. Begitu kapal bersandar,
mataku menangkap sepasang tuan dan nyonya
melambai-lambaikan tangan. "Nduutt..,
Genduutt..!!" Teriak mereka. Nasem masih tetap
memanggil dengan julukanku dan bukan
namaku. Dulu semasa kecil, aku memang paling
gendut dibanding Nasem Dan Hamid.
Begitu turun dari kapal, kami saling berpelukan
tanpa canggung. Kurasakan mereka memang
rindu sekali padaku. Acara kangen-kangenan
berlanjut sampai di rumah. Rumah Nasem
besar, sedang dipugar dan mirip rumah pejabat.
Apakah karena hal ini ia memanggilku ke sini?
Entahlah. Praktis seharian kami tak menyinggung
soal kedatanganku, karena keasyikan saling
berkisah selama kami berpisah.
Maka pada malam kedua itulah, sehabis makan
malam, Nasem dengan istrinya Sari
memanggilku ke ruang tamu. Mulailah mereka
membicarakan soal "bantuan" itu.
"Kira-kira apa yang bisa kubantu, apakah
mengerjakan rumahmu ini?" tanyaku.
Kulirik, Nasem menggelengkan kepala.
"Begini Ndut, kamu kan tahu kami sudah 10
tahun menikah, tapi belum juga diberi
momongan. Masalahnya, menurut dokter, aku
ini memang mandul. Jadi kami sepakat untuk
minta tolong kamu. Itu sebabnya kami
mengundangmu datang kemari," tutur Nasem,
panjang-lebar. Tapi aku masih bingung dengan
ucapannya itu, hingga kuminta ia menjelaskan
lagi.
"Jelasnya, kami ingin sekali punya anak walau
seorang. Tapi kutahu pasti dari dokter bahwa
aku tidak bisa membuahi istriku karena aku
mandul. Maka kuminta bantuanmu untuk
menggantikan diriku agar kami bisa punya
anak," tuturnya lagi dengan jelas.
"Hah.. apa? Aku harus menggantikan dirimu
agar bisa memberikan anak kepadamu,"
tanyaku, penasaran.
"Yah.. begitulah maksudku," jawabnya,
membuat aku kian tak mengerti.
"Lalu dengan cara bagaimana aku
menggantikanmu? Kamu kan tahu bahwa aku ini
bukan 'Deddy Coubuzier' atau dukun. Apakah
aku bisa melaksanakan permintaanmu itu Sem?"
ucapku.
"Ah kamu ini memang nggak tahu atau pura-
pura nggak tahu. Begini, kamu ini memang
bukan seorang dukun dan permintaanku ini tidak
ada kaitannya dengan perdukunan. Yang
kuminta adalah, kesediaanmu menggantikan
diriku sebagai suami dari istriku, untuk
membuahi rahim istriku agar kami bisa punya
anak. Sudah? Jelas tidak?" ucap Nasem merinci,
dan nampak agak kesal juga melihat
kebodohanku.
"Oh begitu maksudmu. Tapi benarkah
ucapanmu itu? Dan apakah Sari menyetujuinya?"
tanyaku meyakinkan, seraya memberi
pertimbangan agar Nasem mengadopsi anak
saja.
Menurut mereka, semula memang berniat untuk
mengadopsi anak.
"Tapi sebaik-baiknya mengadopsi anak, masih
lebih baik punya anak dari rahim istriku sendiri.
Dan ini kalau bisa.. ya kan sayang?" ucap Nasem.
"Ya Mas Ndut, kami sudah berunding
sebelumnya. Dan demi keinginan kami, aku rela
menyerahkan tubuhku untuk dibuahi Mas
Ndut.." ucap Sari pelan.
Kini aku paham maksud mereka. Tapi aku tak
segera menjawab, mendadak terpampang buah
simalakama di mataku. Bila kuterima, ah.. itu
berarti aku harus melanggar pagar ayu. Apalagi
ini istri sahabat sendiri. Dan bila kutolak, Nasem
pasti kecewa. Itu yang pertama. Yang kedua, aku
terlanjur datang jauh-jauh dari Jawa. Dan ketiga
mengingat budi dan jasanya yang kuterima
selama ini, kapan lagi aku bisa membalasnya.
Tapi Nasem terus mendesakku.
"Yah.. bagaimana ini ya. Sem, kuterima atau
tidak permintaanmu ini?" kataku.
"Sudahlah Ndut, kuharap kamu bersedia
membantuku. Nggak usah risau, kami pun tak
ada perasaan apa-apa atas bantuanmu," ucap
Nasem meyakinkan.
Aku pun tanpa sadar berucap, "Yah baiklah. Tapi
bagaimana nanti kalau gagal?" tanyaku.
"Seandainya gagal, itu bukan kesalahanmu. Nanti
kami akan senantiasa berdoa semoga keinginan
kami ini dikabulkan," ucap Nasem dengan arif.
Selanjutnya dengan kesepakatan dan restu
bersama, aku diminta untuk memulai malam itu
juga. Begitu mendengar kesediaanku mereka
permisi hendak mempersiapkan kamar tengah.
Nasem sendiri nampaknya pindah ke kamar
depan. Bantal dan perlengkapan tidur lainnya
dibawanya ke depan.
Tepat pukul 22:00 WITA, aku dipersilakan Sari
masuk ke kamar tengah yang sudah bersih,
indah dan harum. Terasa berat kakiku
melangkah, hingga Nasem dan Sari
membimbingku masuk. Habis itu, Nasem pun
keluar, meninggalkan aku dan Sari berdua di
kamar.
"Sari, apakah kamu yakin aku bakal bisa
memberi anak nantinya..?" tanyaku.
"Mas Ndut, secara pribadi aku yakin kamu bakal
bisa memberi anak untukku nantinya." ucapnya
manja.
"Aku tidak tega tubuhku yang kotor ini nantinya
akan 'mengobok-obok' tubuhmu yang mulus
itu."
"Mas Ndut, aku kan sudah bilang ini demi
keinginan kami berdua. Jadi tubuhku yang mulus
ini kuserahkan padamu Mas. Ayo dekatlah
kemari Mas Ndut. Tak usah malu-malu, aku siap
bertempur Mas.." ucapnya lagi sambil menarik
tanganku ke pembaringan.
Sayup-sayup kudengar pintu jendela depan
ditutup dan dikunci.
"Lho siapa yang menutup pintu dan jendela di
luar sana itu Sar?" tanyaku, sembari duduk di
bibir ranjang.
"Oh itu pasti Mas Nasem sendiri kok Mas Ndut,"
jawabnya, seraya menjelaskan bahwa 2
pembantunya terpaksa dipulangkan agar
rencana ini berjalan mulus.
"Oh begitu!" ucapku.
"Mas Ndut aku sudah nggak tahan nich?"
ucapnya sambil membuka seluruh pakaian yang
melekat di tubuhnya yang mulus itu. Tubuhnya
yang mulus dengan susunya yang begitu
montok dan vaginanya yang menantang. Panas
dingin aku memandangnya. Lutut ini gemetar
dan tubuhku meriang bak kena setrum listrik
1000 watt. Aku yang biasa melihat istriku bugil,
kini jadi lain.
Di rumah aku biasa tidur dengan beralaskan
tikar. Kini aku berhadapan dengan ranjang
mewah beraroma wangi, plus tubuh mulus
tergolek di atasnya. Tapi badanku terus
menggigil seperti terjangkit malaria berat. Eh,
Sari tiba-tiba bangun menghampiriku dan
melepaskan seluruh pakaianku yang sejak tadi
belum kubuka. Aku cuma terbengong-bengong
saja. Lalu..
"Sekarang.. coba Mas Ndut berbaring.." ucapnya
sambil mendorong tubuh telanjangku. Aku
menurut saja. Penisku segera menegang ketika
merasakan tangan lembut Sari mulai beraksi.
"Wah.. wahh.. besar sekali penismu, Mas Ndut."
tangan Sari segera mengusap-usap penis yang
telah mengeras tersebut. Segera saja penisku
yang sudah berdenyut-denyut itu masuk ke
mulut Sari. Ia segera menjilati penisku itu dengan
penuh semangat. Kepala penisku dihisapnya
keras-keras, hingga membuatku merintih
keenakan.
"Ahh.. ahh.. ohh.." aku tanpa sadar merintih
merasakan nikmat sesaat. Menyadari keringatku
yang mengucur dengan deras sehingga
menimbulkan bau badanku yang kurang sedap,
buru-buru aku mendorong kepala Sari yang
masih mengulum penisku itu untuk pamit mau
mandi dulu. Lalu, kuguyur badanku dengan
segala macam sabun dan parfum yang ada di
situ kugosokkan agar badanku harum. Tiga kran
yang ada di situ kubuka semua dan kurasakan
mana yang berbau sedap, kupakai untuk
menyegarkan badan. Bukankah sebentar lagi aku
mesti melayani sang putri bak bidadari?! Mungkin
sudah terlalu lama aku di kamar mandi,
terdengar Sari mengetuknya. Begitu pintu
kubuka, ah. Sari berdiri dengan tubuh
montoknya. Ohh.. Seandainya yang pamer
aurat di depanku itu istriku aku tak akan menanti
lama-lama pasti langsung kudekap dia. Tapi dia
adalah istri sahabatku."Malaria"-ku yang sempat
sembuh waktu mandi tadi, kini kumat lagi.
Cepat-cepat aku masuk lagi dan menguncinya.
Di dalam kamar mandi aku bimbang bagaimana
sebaiknya, kulaksanakan atau kubatalkan saja?
Akhirnya malam itu terpaksa gagal. Hingga pukul
lima pagi aku masih belum berani
melakukannya. Melihat Sari bak bidadari turun
dari kahyangan, memang membuatku tergiur.
Tapi ketika berhadapan dengannya nyaliku jadi
ciut.
Esoknya rupanya Sari melapor pada suaminya.
Dan aku ditegur Nasem.
"Ndut, kenapa tidak kamu laksanakan? Bukankah
sudah kami katakan." ucapnya.
Aku cuma diam saja. Agar tidak kecewa lagi,
malam ini tekadku akan kulipatgandakan untuk
melakukannya.
Pukul 22.00 WITA, Nasem meninggalkan kami
berdua di ruang tamu. Sejurus kemudian, "Ayo
Mas Ndut kita tidur yuk," ucap Sari manja
sembari meraih tanganku dan ditariknya ke
kamar. Setelah mengunci pintu kamar, dia
menyuruhku duduk di tepi ranjang dan jari-
jarinya yang lentik mulai memijat pundakku.
Aneh, setelah dipijat aku menjadi lebih rileks. Dia
sorongkan wajahnya dekat sekali dengan
wajahku dan tiba-tiba bibir kami sudah merapat
dan saling menghisap. Lama juga kami
berciuman dan juga saling memilin lidah
sementara tangan kami saling membelai dan
mengusap.
Kami masih duduk berhadapan. Lalu Sarilah
yang mulai membuka semua pakaianku. Dia
kecup leherku turun ke bawah ke dada dan ke
puting dadaku. Sampai disini, dia menjulurkan
lidahnya dan putingku dijilat-jilat. penisku
langsung menegang, sangat keras dan semakin
keras karena diremas-remas olehnya.
Singkat kata, kami pun sudah bertelanjang bulat
dan aku pun segera menindih badannya yang
kenyal dan padat. Karena ada sisa kegugupan,
maka aku langsung coba memasukkan penisku
ke dalam vaginanya.
"Tunggu, pelan-pelan saja Mas Ndut," bisiknya
sambil mengelus kepala kemaluanku di depan
lubangnya. Pelan-pelan sekali. Lalu tugasnya
kuambil alih dan kulanjutkan menyentuh dan
menggosokkan kepala penisku itu. Pelan dan
pelan sekali. Terasa olehku lubangnya semakin
basah dan licin. Tiba-tiba.. "Slepp.." masuklah
penisku ke dalam sangkarnya.
Aku mulai menggenjot perlahan-lahan. Naik
turun, naik turun. Sementara itu bibir kami
berdua tetap bertaut. Saling kecup, saling hisap.
Tangan Sari mengusap-usap punggungku
terkadang turun ke bawah ke pantat dan jarinya
mempermainkan lubang pantatku, geli campur
enak. Tanganku sibuk mengelus kepalanya dan
rambutnya. Semua kami lakukan dengan pelan
dan lembut.
Setiap aku hampir sampai ke puncak, Sari selalu
memelukku erat-erat sehingga aku tidak bisa
bergerak. Tepatnya, kami berdua diam tak
bergerak sambil saling peluk dan penisku
tertanam dalam di kemaluannya. Setelah agak
reda kembali aku memompa naik turun.
Selang beberapa saat, Sari ganti di atas. Rupanya
dia amat menyenangi posisi ini. Ganti sekarang
dia yang memeluk dan menciumiku sementara
pantatnya bergoyang dan berputar dengan
penisku tertancap di dalam kemaluannya.
Semakin lama semakin semangat. Sampai
akhirnya ia pun mengejang dan mulutnya
berdesis-desis dan kepalanya bergoyang-
goyang liar ke kiri dan ke kanan, kupeluk dia dan
kutekan pantatnya sehingga sampailah ia pada
puncak kepuasannya. Lemaslah tubuh Sari dan
dia menciumi seluruh wajahku sambil
mengucapkan, "Terima kasih ya Mas? Mas telah
melakukan tugas dengan baik.. aku sungguh
tidak menyangka Mas bisa membuatku
melayang sampai ke langit yang ke-tujuh..
(ucapnya sambil mengecup bibirku, terus
tangannya memegang penisku yang menurut
dia jauh lebih besar dan panjang dari punya
Nasem)".
Selesai tugasku maka aku pun membalikkan
badannya dan ganti aku di atas. Kuangkat kedua
kakinya dan kubelitkan di kedua pahaku lalu
kumasukkan penisku dan kukocok perlahan-
perlahan untuk makin lama makin cepat dan
akhirnya menyemburlah air maniku ke dalam
lubang vagina Sari. Sari memeluk tubuhku erat-
erat dan kami pun berciuman lama. Sempat
sekitar sepuluh menit kami diam tak bergerak
dalam posisi aku di atas badannya dan tubuh
kami tetap jadi satu bersambung dari bawah.
Tak terasa 'pekerjaan' yang kulaksanakan ini
sudah menginjak malam ke dua belas.
"Mas Ndut, sebenarnya menurut perhitungan
saya, haid saya sudah lewat 7 hari yang lalu,"
kata Sari pada suatu malam setelah kami
kelelahan. Tapi Nasem masih belum yakin
istrinya hamil. Aku dimintanya 'bersabar' barang
sepuluh hari atau dua minggu lagi. Bersamaan
dengan itu, ia mengirimkan uang belanja untuk
istriku dan anak-anakku.
Hingga pada suatu hari, terhitung hampir
sebulan aku di sana. Nasem membawa istrinya
ke dokter ahli kandungan. Tak berapa lama
mereka pun pulang dengan wajah yang cerah.
Berhasil!
"Oh Ndut, istriku hamil!" katanya gembira.
Kiranya 'pekerjaanku' tak sia-sia. Kusarankan
pada mereka untuk menjaga kandungan Sari,
hingga kelak si jabang bayi lahir. Aku sendiri,
sudah kangen pada keluargaku di kampung.
Maklum, hampir sebulan aku meninggalkan
mereka. Tapi aku berjanji kepada Nasem,
bersedia diundang lagi seandainya hasilnya
gagal. Nasem pun tak keberatan melepaskanku
pulang. Kebetulan dua hari lagi ada kapal
berangkat ke Surabaya. Sorenya mereka belanja
oleh-oleh untuk keluargaku di rumah. Aduh
bukan main senangnya hati mereka. Setelah itu
aku pun berangkat naik kapal pulang ke
kampung.
Singkat cerita, sesampainya di rumah kukatakan
pada istriku bahwa aku diminta menyelesaikan
bangunan rumahnya. Dan istriku percaya saja.
Tapi dalam hati, aku merasa berdosa kepadanya.
Delapan bulan kemudian aku menerima surat
dari Nasem bahwa 'anaknya' telah lahir, wanita,
cantik lagi, dan diberinya nama Ratih. "Ah
syukurlah," gumamku.
Begitulah yang terjadi. Rahasia ini masih
kusimpan demi ketenangan keluargaku. Tapi
satu hal yang tak dapat kupungkiri, bahwa darah
dagingku pun terpisah di sana. Disatu sisi aku
bangga dapat membahagiakan sahabatku dan
membalas budinya. Tapi disisi lain soal akibat
dosanya, kuserahkan kepada Yang Di Atas. Aku
hanya dapat berucap, mohon ampun pada-Nya.


Adult | GO HOME | Exit
1/1008
U-ON

inc Powered by Xtgem.com